Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera menggelar deklarasi ‘Selamatkan Demokrasi Indonesia’ karena menilai situasi demokrasi di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang makin memburuk.
Deklarasi yang diikuti mahasiswa, jajaran dosen, hingga alumni itu menilai perlu ada tindakan konkret dan kesadaran kolektif untuk mencegah pemiskinan teladan bangsa bagi generasi berikutnya.

“Ketidakberesan ini mencuat karena ada penyalahgunaan kekuasaan dengan hukum dan etika yang dicederai demi memenuhi birahi politik dan keinginan untuk memegang kendali penuh,” kata pengajar STH Indonesia Jentera Yunus Husein di Jakarta Selatan, Rabu (7/2)
Yunus menyebut sebelum momen politik elektoral, Indonesia telah mengalami kemunduran demokrasi dalam beberapa tahun belakangan. Mulai dari legislasi tanpa partisipasi, pembatasan kebebasan sipil, hingga kriminalisasi.
Kemudian, penderitaan ini terus berlanjut karena mimpi buruk demokrasi semakin nyata terlihat. Ia mengatakan pemilu yang seharusnya menjadi momentum perubahan dan keberlanjutan gagasan republik yang mencerminkan kedaulatan rakyat terancam manipulasi dan pelanggaran etika tanpa putus. Masyarakat hanya dianggap penonton yang hilang akal sehat, menyaksikan sirkus pengkhianatan amanat oleh elite politik dari hari ke hari,” kata dia.

Yunus pun menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada perkara 90 yang mengubah pasal syarat usia minimal capres-cawapres jadi bukti nyata bahwa perilaku melanggar etik malah mendapat layanan panggung politik tertinggi. Ia menyebut penyalahgunaan kekuasaan negara dalam pemilu terjadi tanpa hambatan.

Yunus pun prihatin karena Jokowi yang seharusnya menjadi penjaga prinsip-prinsip demokrasi, malah diduga terlibat dalam penyelewengan etika.

Tindakan itu menurutnya telah merongrong kepercayaan rakyat pada lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi penjaga keadilan dan keseimbangan.

“Perkembangan dalam satu pekan ke belakang menunjukkan adanya kegelisahan terhadap situasi demokrasi yang kian memburuk yang terus disuarakan oleh para sivitas akademika,” ujar Yunus.
“Civitas academica memiliki kewajiban moral dan intelektual untuk mengawal negara hukum, hak asasi, dan demokrasi,” imbuhnya.

STH Indonesia Jentera pun mengeluarkan enam poin desakan;

Pertama, mendesak Presiden Jokowi untuk menghentikan praktik bernegara yang serampangan dan menjalankan kewajiban hukumnya sebagai kepala negara dan pemerintahan untuk menjunjung tinggi hukum, etika, dan konstitusi.

Kedua, mendesak Jokowi dan seluruh elemen pemerintahan di tingkat pusat, daerah, hingga desa untuk berhenti menggunakan jabatan, fasilitas, birokrasi, dan anggaran negara, termasuk menetapkan kebijakan administrasi pemerintahan demi kepentingan politik elektoral.

Ketiga, mendesak para menteri anggota Kabinet Indonesia Maju serta aparat pemerintahan yang menjadi bagian dari tim pemenangan paslon agar mundur dari jabatannya.

Keempat, mendesak Bawaslu untuk berani, konsisten, dan tanpa diskriminasi menindak pelanggaran hukum pemilu dan mengintensifkan pengawasan pemilu yang berkenaan dengan potensi penyalahgunaan kewenangan dan anggaran negara.

Kelima, mendesak DPR untuk menggunakan hak interpelasi dan hak angket untuk menginvestigasi intervensi Presiden Jokowi dalam Pemilu 2024.
Keenam, mendesak seluruh elemen pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap civitas academica dan masyarakat sipil yang telah menyampaikan pendapat mengenai kegelisahan terhadap situasi demokrasi saat ini.

“Pernyataan sikap ini disusun sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan intelektual untuk keberlanjutan demokrasi dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Selamatkan demokrasi Indonesia,” pungkas Yunus.

Pada kesempatan berbeda, hari ini Universitas Islam As-Syafiiah (UIA) juga menggelar deklarasi kerakyatan yang bertajuk “Mewujudkan Marwah Pemilu 2024 untuk Indonesia yang Adil dan Damai”.

Deklarasi itu diikuti dewan guru besar, rektorat, dekanat, dosen, mahasiswa, serta alumni UIA. Mereka menyatakan keprihatinan atas kondisi Indonesia saat ini.

Salah satu poin yang mereka suarakan adalah negara dan pemerintah wajib mengawal agar pemilu berjalan sesuai asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber jurdil). Mereka juga mengingatkan pemerintah wajib menjunjung tinggi nilai etik dan moral politik dan prinsip negara hukum dalam bernegara.

Lalu, pejabat pemerintah yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kontestasi pemilu wajib mundur dari jabatannya. Hal ini demi menghindari konflik kepentingan dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Hingga kini, kritik civitas academica dari berbagai perguruan tinggi terus berlanjut. Tercatat sudah ada sikap yang disuarakan civitas Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Indonesia (UI), Universitas Hasanuddin, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Lalu, ada Universitas Padjadjaran, Universitas Mulawarman, Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Airlangga, dan Universitas Negeri Surabaya.

Secara umum, mereka menyampaikan tuntutan dan kritip serupa, yaitu soal demokrasi di era Jokowi yang dianggap kian mundur.

Baca artikel CNN Indonesia “STH Jentera Deklarasi Selamatkan RI: Ada Sirkus Pengkhianatan”

Categories:

Tags:

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content