Memahami Kegelisahan Dibalik Gelombang Seruan Para Akademisi

Tahun 2019 dan 2024 berbeda untuk Joko Widodo. Pada tahun 2019, alumni sejumlah perguruan tinggi menyampaikan dukungan untuk pencalonannya kembali sebagai presiden. Tahun ini, kritik dan desakan Presiden Jokowi untuk kembali ke nilai demokrasi bermunculan dari kampus. Jokowi pun merespons dengan menyebutnya sebagai bagian dari demokrasi.

Plaza Tenggara Gelora Bung Karno pada 12 Januari 2019 dipadati alumni sejumlah perguruan tinggi. Acara yang dimotori Gerakan Alumni Universitas Indonesia untuk Jokowi itu beragendakan deklarasi dukungan kepada Jokowi pada Pemilu 2019. Hal serupa dilakukan alumni kampus lain. Alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) sudah melakukan deklarasi terlebih dahulu pada 28 Juli 2018. Alumni Universitas Andalas melakukan hal yang sama pada 27 Januari 2019.

Pada tahun 2024, menjelang akhir masa pemerintahan Presiden Jokowi, para akademisi turun gunung menyuarakan kegelisahan mereka. Para dosen, termasuk guru besar sejumlah perguruan tinggi negeri ataupun swasta, menyatakan sikap.

Dimulai dari Petisi Bulaksumur, Rabu (31/1/2024), para sivitas akademika UGM menyerukan ajakan kembali ke jalan demokrasi kepada Presiden Jokowi serta aparat penegak hukum, pejabat negara, dan aktor politik. ”Segera kembali pada koridor demokrasi serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial,” kata Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Koentjoro.

Universitas Islam Indonesia (UII) menyusul dengan pernyataan sikap akademika UII bertajuk ”Indonesia Darurat Kenegarawanan”, Kamis (1/2/2024). Rektor UII Fathul Wahid yang didampingi sivitas akademika UII meminta setiap pejabat yang memiliki akses terhadap sumber dana negara dan terlibat sebagai tim sukses atau ikut dalam kampanye salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden mundur dari jabatannya.
Sivitas akademika Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, tak ketinggalan menyampaikan keprihatinan terhadap proses berdemokrasi di Indonesia menjelang Pemilu 2024, Jumat (2/2/2024). Sivitas akademika Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Jawa Barat, juga menyerukan supaya para penguasa melaksanakan demokrasi yang bermartabat dalam Pemilu 2024, Sabtu (3/2/2024). Pada hari yang sama, pesan kebangsaan dan imbauan moral juga disampaikan Dewan Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di Kampus Terpadu UMY, Bantul, DI Yogyakarta.

Sivitas akademika UMY meminta Presiden Jokowi kembali menjalankan kewajiban konstitusionalnya sebagai penyelenggara negara untuk mewujudkan pelaksanaan Pemilu 2024 yang jujur dan adil. ”Penggunaan fasilitas negara dengan segenap kewenangan yang dimiliki dinilai merupakan pelanggaran konstitusi yang serius,” ujar Akif Khilmiyah, anggota Dewan Guru Besar UMY.

Seruan serupa disampaikan para akademisi Universitas Indonesia, Universitas Khairun Ternate, Universitas Andalas, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Universitas Hasanuddin, Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia, sampai sivitas akademika Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta.

Mahasiswa Universitas Brawijaya, juga ikut menyampaikan pernyataan sikap, Sabtu (3/2/2024). Mereka menyoroti negara yang dinilai mulai kehilangan komitmennya dalam menegakkan amanat reformasi.

Gelombang seruan moral ini masih akan berlanjut awal pekan depan dengan Universitas Airlangga, Surabaya, dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Para guru besar Universitas Sumatera Utara juga menyiapkan petisi untuk mendorong penyelenggaraan pemilu yang adil dan jujur serta bermartabat.
Menghadapi petisi para akademisi ini, Presiden Jokowi hanya menanggapi singkat. ”Itu hak demokrasi yang harus kita hargai,” ujarnya kepada wartawan di Gedung Bale Rame, Kabupaten Bandung, Sabtu (3/2/2024).

Sehari sebelumnya, di Jakarta, Presiden juga mengatakan, setiap orang boleh berbicara dan berpendapat. Adapun Koordinator Staf Khusus Presiden Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana menilai, pada tahun politik dan menjelang pemilu, selalu muncul pertarungan dan penggiringan opini.

“Presiden, kan, tidak kampanye, tapi kunjungan kerja ke daerah. Dan, esensi dari kunjungan kerja dan kampanye berbeda.”

”Pertarungan opini dalam kontestasi politik adalah sesuatu yang wajar saja, apalagi terkait dengan strategi politik partisan untuk politik elektoral,” kata Ari, yang juga tercatat sebagai pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, Jumat (2/2/2024), di Jakarta.

Ari juga menyebut Presiden Jokowi memiliki komitmen untuk patuh dan setia pada nilai-nilai demokrasi, Pancasila, dan koridor konstitusi. Dia membantah apabila Presiden Jokowi disebut berkampanye. ”Presiden, kan, tidak kampanye, tapi kunjungan kerja ke daerah. Dan, esensi dari kunjungan kerja dan kampanye berbeda,” katanya
Sementara itu, seperti diungkapkan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM Agus Wahyudi saat penyampaian Petisi Bulaksumur, petisi itu adalah akumulasi dari ketidakpuasan yang sudah terangkum sejak lama. ”Akhirnya kami putuskan harus bersuara setelah kejengkelan ini mencapai puncak karena melihat Presiden Jokowi menunjukkan keberpihakannya pada salah satu pasangan capres-cawapres,” ujarnya.”Cara Presiden melibatkan diri dalam usaha menghasilkan orang-orangnya terpilih dapat mengancam demokrasi yang merupakan hasil perjuangan berdarah reformasi.”

Sebelumnya, muncul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berujung pada putusan etik pelanggaran berat terhadap Anwar Usman, Ketua MK saat itu, yang juga paman Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi. Putusan ini membuka jalan untuk Gibran maju dalam kontestasi sebagai calon wakil presiden mendampingi calon presiden Prabowo Subianto.

Selain itu, Presiden Jokowi intens terlibat dalam penyaluran bansos sehingga menimbulkan dugaan dari sejumlah kalangan bahwa hal itu berlatar kepentingan pemenangan calon tertentu. Netralitas aparat penegak hukum juga dipertanyakan sejumlah kalangan.

Pengajar etika STF Driyarkara, Franz Magnis-Suseno mengemukakan, banyaknya petisi dan seruan dari dunia perguruan tinggi dan akademisi adalah tanda darurat bagi penyelenggaraan Pemilu 2024 yang akan berlangsung kurang dari dua minggu lagi.

”Cara Presiden melibatkan diri dalam usaha menghasilkan orang-orangnya terpilih dapat mengancam demokrasi yang merupakan hasil perjuangan berdarah reformasi. Presiden silakan berpihak. Tetapi, ia jangan memakai kedudukannya sebagai kepala negara untuk memajukan kepentingan pihak yang ia dukung itu,” tutur Magnis, Sabtu (3/2/2024), di Jakarta.
Dasar demokrasi yang sehat, lanjutnya secara tertulis, adalah pengalaman bahwa pemerintah dan Presiden melindungi semua warganya dan berpihak kepada semua warganya. Namun, masyarakat melihat pelbagai tekanan dan manipulasi. Salah satunya adalah meloloskan anak Presiden melalui manipulasi putusan MK, apalagi kemudian Majelis Kehormatan MK menemukan pelanggaran etik yang keras.

Magnis menegaskan, para akademisi yang angkat suara sama sekali tidak mau berpihak pada pasangan calon tertentu. ”Mereka persis menyuarakan kekhawatiran serius bahwa bangsa Indonesia jatuh ke tangan—jangan-jangan sudah jatuh—ke tangan orang yang meremehkan etika. Kalau etika dibuang, yang tinggal kekuasaan telanjang,” tuturnya.
“Jangan memutarbalikkan kebenaran, Bung! Kekhawatiran bahwa pimpinan negara memakai kekuasaannya untuk memastikan siapa yang akan memimpin negara di lima tahun mendatang itulah latar belakang petisi dan seruan para akademisi.”

Dia menambahkan, para akademisi hanya mengingatkan etika luhur yang mendasari persatuan negara Indonesia yang luhur. Adapun penggiringan opini dilakukan mereka yang memakai dorongan, tekanan, bujukan, sarana, uang negara untuk memenangkan satu pasangan capres-cawapres.

”Jangan memutarbalikkan kebenaran, Bung! Kekhawatiran bahwa pimpinan negara memakai kekuasaannya untuk memastikan siapa yang akan memimpin negara di lima tahun mendatang itulah latar belakang petisi dan seruan para akademisi,” lanjutnya.

Namun, katanya, masih ada waktu agar pemilu mendatang menjadi pemilu yang jujur, transparan, dan bebas, termasuk bebas dari segenap intimidasi dan kecurangan.

Pengajar Ilmu Politik Unpad, Yusa Djuyandi, juga menilai, perhatian terkait etika politik mulai mencuat setelah putusan MK terkait syarat minimal usia capres-cawapres. Praktik penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi membuatnya pesimistis terhadap etika politik di Tanah Air.
“Dalam proses pencalonannya, ada aturan atau hukum yang ditabrak, dan itu yang menjadi perhatian di Unpad, UI, UGM, dan kampus lainnya.”

Selain itu, menurut Yusa, saat berkampanye, Jokowi harus menegaskan pemisahan posisi dirinya sebagai pemimpin negara menjadi individu yang mendukung pasangan calon tertentu. Namun, Yusa mengatakan, hal ini akan sulit untuk dilakukan karena jabatan presiden itu melekat kepada individu. Butuh batas yang tegas dan etika politik dari seorang Jokowi agar tidak membawa pengaruh dan kekuasaannya sebagai kepala negara.

”Saya agak pesimistis dengan yang terjadi sekarang, karena dalam kontestasi ini ada anaknya Presiden Jokowi. Dalam proses pencalonannya, ada aturan atau hukum yang ditabrak, dan itu yang menjadi perhatian di Unpad, UI, UGM, dan kampus lainnya,” ujarnya.

Di sisi lain, ia juga melihat sejumlah pihak yang masih mengedepankan etika karena mengundurkan diri dari jabatannya terlebih dahulu sebelum masuk ke arena kontestasi. Dia menyebut Mahfud MD yang mengundurkan diri dari jabatan Menko Polhukam hingga Basuki Tjahaja Purnama dari jabatan Komisaris Pertamina.

Yusa berharap tindakan serupa dilakukan tokoh lain. Sejumlah pemimpin partai politik, mulai dari Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan hingga Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, masih mengemban jabatan di kementerian meskipun mendukung pasangan capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Bahkan, kedua menteri ini turut membagikan bantuan sosial kepada masyarakat. Menurut Yusa, hal itu patut dikritisi karena bisa memengaruhi masyarakat terhadap calon tertentu.

”Ini terkait referensi politik. Orang-orang akan melihat siapa yang memberikan bansos, dan berasal dari partai apa. Apalagi, dana bansos kali ini melonjak. Jadi, perlu adanya penyadaran politik kepada masyarakat,” katanya
Seperti disampaikan Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, kalaupun Presiden Jokowi mau berpihak dan berkampanye, semestinya semua program pemerintah tidak digunakan, demikian pula fasilitas negara, kecuali pengamanan yang melekat pada Presiden. Program bansos menggunakan APBN yang bersumber dari pajak masyarakat ataupun utang negara semestinya tidak dijadikan alat dalam menarik simpati rakyat.

Masifnya gelombang petisi dan seruan moral tentu bukan tanpa sebab. Harapan bahwa para pejabat negara tetap memiliki hati dan mengikuti nilai moral yang sesungguhnya tetap disuarakan. Franz Magnis-Suseno pun menambahkan, ”Syukur, para akademisi (masih mau) angkat suara mereka!”

Artikel ini telah tayang dengan judul sama  “Memahami Kegelisahan Dibalik Gelombang Seruan Para Akademisi”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
Skip to content